amalia.nurma.fs@um.ac.id

Object Identifier

01JAWA DAN BALI34

Kategori

Judul

Wayang Suket Puspasarira
Deskripsi

Wayang Suket Puspasarira merupakan salah satu perkembangan dari seni pertunjukan wayang yang memanfaatkan suket (rumput) sebagai media pembuatannya dengan ciri bunga mahkota pada bagian kepala berasal dari mendong. Munculnya wayang suket Puspasarira didasari oleh rasa prihatin Mbah Karjo atas kondisi sosial budaya terutama yang ada di lingkungan sekitarnya. Penamaan Puspasarira yang melekat pada wayang suket karya samsul subakri atau Mbah Kardjo/Mbah Jo memiliki arti benda kecil yang terbuat dari bunga berasal dari kata puspa berarti badan dan sarira berarti bunga(Sari & Perguna, 2020). Wayang Suket Puspasarira Pertama kali dikenalkan oleh Mbah Jo saat menjadi pemateri dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Keuskupan Katolik Malang mengenai penjernihan air dan permainan ramah lingkungan. Bahan dasar awal pembuatan wayang suket karya Mbah Karjo menggunakan damen (batang padi yang sudah kering). Namun, karena sifat bahan damen yang mudah putus dan lebih pendek Mbah Jo menemukan bahan alternatif yaitu mendong(Rachmawati & Zurinani, 2023). Bunga kering yang masih ada pada mendong digunakan untuk Membuat bagian mahkota yang terletak di bagian kepala wayang. Dan menjadi ciri dari wayang suket karya Mbah Karjo. Tokoh Wayang Suket Puspasarira terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua dan muda, baik dan jahat yang dibedakan berdasarkan bentuk tubuhnya. Mbah Karjo menyatakan bahwa bentuk Wayang Puspasarira tidak mirip dengan manusia karena adanya larangan untuk makhluk lain dalam dunia pedalangan agar tidak menjadi objek penyembahan. Ritual pertunjukan Wayang suket Puspasarira melalui tiga proses diantaranya, pembuatan wayang yang memerlukan waktu sekitar 15-20 menit, gelar layer atau pra pertunjukan, dan ritual penutup pertunjukan. Pertunjukan wayang suket Puspasarira menggunakan tiga unsur yakni sumber sinar, penghalang sinar, dan layar. Pergantian adegan Wayang Suket Puspasarira menggunakan gunungan yang menggambarkan api dan hutan. Sedangakan Penokohan Wayang ditentukan saat pemberian nama setelah proses pembuatan wayang. Cerita yang digunakan saat pertunjukan wayang dipilih berdasarkan penanggap dan penonton wayang. Ketika penonton didominasi oleh generasi milenial maka contoh cerita yang ditampilkan adalah penggunaan internet yang tepat dengan tokoh dan properti yang terbuat dari suket(Sari & Perguna, 2020). Pesan atau pelajaran yang disampaikan saat pertunjukan wayang suket dapat berupa nasehat-nasehat dalam kehidupan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Iringan yang digunakan dalam pertunjukan bersifat kondisional sehingga dapat melibatkan audiens sebagai pengiring. Mbah Karjo melakukan Penyebaran Wayang Suket Puspasarira di komunitas kebudayaan di beberapa daerah diantaranya Jakarta, Denpasar, Jogja, Solo, Magelang dan di wilayah Malang yaitu Singosari, Kepanjen, Blitar, Tulungagung, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Lumajang, Banyuwangi, Jember.


Referensi

Rachmawati, N., & Zurinani, S. (2023). SIMBOLISASI BUDAYA JAWA DALAM BENTUK WAYANG. Kusa Lawa, 3(1), 84–100. Sari, V. R., & Perguna, L. A. (2020). Komodifikasi Wayang Suket Puspasarira di Kota Malang sebagai Upaya Pelestarian Wayang. ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial Dan Budaya, 9(1), 15–23. https://doi.org/10.33772/etnoreflika.v9i1.712 Zurinani, S. (2017). A Structuralist Study of the Wayang Suket Puspasarira Malang. ISLLAC: Journal of Intensive Studies on Language, Literature, Art, and Culture, 11(1), 1–14. https://journal2.um.ac.id/index.php/jisllac/article/view/1930

0 Komentar

Leave a Reply