Deskripsi
Wayang Topeng Malang Adalah pertunjukan yang menampilkan penari menggunakan topeng dengan tarian yang mendeskripsikan karakter dari topeng yang digunakan mengikuti alur cerita yang dibawakan Dalang. Perbedaan wayang topeng dengan tari topeng terdapat pada jumlah tokoh yang dipentaskan dan alur yang dibawakan dalam pertunjukannya. Wayang topeng memiliki alur cerita yang berlatar pada cerita Panji dan penokohan topeng dari cerita tersebut. Sedangkan Tari topeng hanya mementaskan satu tokoh dengan tarian yang menggambarkan karakter dari tokoh yang dibawakan, seperti Tari Topeng Bapang. Pada awalnya topeng digunakan sebagai sarana dalam acara ritual keagamaan dan mendapatkan tarian untuk menyambut tamu kenegaraan pada masa Pemerintahan Majapahit di bawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk. Surya Atmojo yang mengabdi pada Bupati pertama Kabupaten Malang sebagai Mantri Agung atau asisten berasal dari Keraton Majapahit dan memiliki keterampilan dalam Menari Topeng (Kamal, 2010). Keterampilan Suryo Atmojo memunculkan ketertarikan Raden Adipati Panji Notodiningrat I terhadap kesenian Tari Topeng dan menetapkannya sebagai tarian khas Malang. Pertunjukan wayang topeng telah ditemukan pada awal abad 19 oleh Sir Thomas Stamford Raffle dalam catatan perjalannya. Raffles di buku The History Of Java mencatat adanya pertunjukan drama yang menggunakan topeng dimana pemainnya menyesuaikan Gerakan dan ekspresi mengikuti naskah yang dibawakan oleh dalang. Tokoh yang ada pada pertunjukan tesebut diambil dari cerita pertualangan Panji, seorang pahlawan favorit dalam cerita Jawa (Raffles, 1817). Cerita Panji yang dibacakan oleh dalang menjelaskan bahwa apa yang dicatat oleh Raffles merupakan pertunjukan Wayang Topeng. Persebaran Wayang Topeng Malang terjadi pada awal abad ke 20 di masa pemerintahan bupati malang ke IV dan V. Raden Suryo Diningrat sebagai Bupati Malang ke IV mewajibkan Pejabat dibawah kepemimpinannya agar bisa menari Topeng (Tri handoyo, asmorobangun). Setelah itu terjadi persebaran Topeng Malang oleh Mbah Reni di wilayah timur yaitu; Jabung, Tumpang dan sekitar lereng bromo. Sedangkan yang menyebarkan di wilayah Malang bagian utara yaitu Pak Kurawan di sekitar Lawang. Ketika Pak Kurawan berpindah tempat kedaerah Kromengan di sisi Selatan gunung Kawi mengikuti Tuannya, Dia menyebarkan Topeng Malang ke daerah Malang Selatan salah satunya Kedungmonggo. Penyajian pertunjukan Wayang Topeng Malang menggunakan lakon Panji atau roman Panji dan memiliki tata urutan sebagai berikut: (1) Gending Giro(biasanya tanda untuk penonton bahwa pertunjukan akan segera dimulai), (2) Tari Pembuka Beskalan Patih, (3) jejer atau adegan (4) Sigek atau jeda dengan menampilkan Tari Topeng Bapang (bisa juga digunakan oleh si dalang untuk menyampaikan informasi (5) jejer (6) Tari Penutup dengan Tari Topeng Gunungsari. Wayang Topeng Malang menceritakan tentang cerita yang pernah terjadi dan diceritakan kembali dalam sebuah pertunjukan. Inti dari cerita Panji ada tiga, ada kepahlawanan, romantika dan pengorbanan, seperti seorang pemimpin berjudul “umbul-umbul madyo puro” Simbol dari seorang pemimpin, yang bisa menjadi madyo atau penengah jika ada pertarungan dalam anggotanya dan jadi ujung tombak saat menghadap musuh. Terdapat satu tokoh Bernama “Raden Putro Joyo” yang memiliki karakter lawak dan bisa berkomunikasi dengan dalang maupun penonton. Karakter ini dalam pertunjukan wayang topeng malang dapat menyampaikan pesan, pada masanya pemerintah menggunakan Putro Joyo untuk menyebarkan programnya seperti siskamling atau Kelurga Berencana.
Referensi
Hidajat, R. (2005). Struktur, Simbol, dan Makna Wayang Topeng Malang. Bahasa Dan Seni, 33(2), 270–281. Kamal, M. (2010). Wayang Topeng Malangan: Sebuah kajian Historis Sosiologis. Resital, 8(1), 54–63. Raffles, S. T. S. (2015). The History of Java, v. 1-2. https://www.gutenberg.org/cache/epub/51828/pg51828.html Wibowo, A., Kurnain, J., & Juanda, J. (2020). History of inheritance of Wayang Topeng Malangan (Malang traditional mask puppet) in Pakisaji and Tumpang. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, 20(1), 73–83. https://doi.org/10.15294/harmonia.v20i1.24785