Deskripsi
Wayang suket Puspasarira merupakan kerajinan tangan yang menyerupai wayang terbuat dari mendong atau rumput yang tergolong dalam keluarga Cyperaceae. Kerajinan tangan tersebut pertama kali dibuat pada tahun 2014 oleh Samsul Subakri atau yang akrab disapa Mbah Karjo/Mbah Jo. Saat itu Mbah Karjo mendapat tawaran untuk mengisi acara di Pekan Kekerabatan Jambore Siswa-siswi Sekolah Katolik se-Indonesia dengan topik membuat mainan ramah lingkungan dan mengajarkan proses penjernihan air. Mbah Karjo mengajarkan proses penjernihan air, kemudian dibantu istrinya untuk membuat mainan ramah lingkungan dengan membuat wayang dari bahan suket/rumput. Pada awalnya pembuatan wayang suket Puspasarira diinisiasi oleh Istri Mbah Karjo yang selanjutnya dikembangkan menjadi berbagai macam bentuk. Wayang suket Puspasarira hanya terdiri dari 2 karakter, yaitu laki-laki/perempuan; tua/muda serta manusia/hewan. Sebelum disebut wayang suket Puspasarira, terdapat dua pilihan nama yaitu Damisdira dan Puspasarira. Wayang suket Puspasarira mendapatkan hak pengakuan dari pemerintah. Pada saat itu wayang suket Puspasarira belum spesifik memiliki nama Puspasarira. Boneka ini hanya disebut sebagai boneka wayang suket seperti pada umumnya. Namun setelah bertemu dengan arkeolog UM, Dwi Cahyono dalam acara kesenian di Malang, boneka ini diberi nama Puspasarira dengan arti ‘puspa’ adalah bunga dan ‘sarira’ adalah boneka kecil. Artinya yaitu benda kecil yang terbuat dari bunga (Sari & Perguna, 2020). Wayang Puspasarira berkembang menjadi seni pertunjukan yang telah ditampilkan di berbagai daerah. Arah barat paling jauh di Jakarta. Sebelah timur paling jauh di Denpasar, Bali. Di Pulau Jawa pernah ditampilkan di Jogja, Solo, Magelang. Sedangkan di Jawa Timur pernah ditampilkan di wilayah Malang hampir di semua kecamatan. Kemudian Blitar, Tulungagung, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Lumajang, Banyuwangi dan Jember. Konsep pertunjukan wayang suket Puspasarira menggunakan konsep bolak-balik atau wolak-walik yang menjelaskan bahwa suatu hal dapat dipandang dari sisi lain. Dalam pertunjukan wayang suket Puspasarira dahulu menggunakan iringan musik langsung, baik sendiri atau berkelompok, namun saat ini menggunakan musik rekaman. Teknik memainkannya menggunakan prinsip ayang-ayang atau bayang-bayang yang terdiri dari 3 elemen yaitu sumber sinar, boneka penghalang sinar, dan layar. Cerita yang dibawakan dalam wayang suket Puspasarira cenderung mengambil cerita Panji seperti menceritakan Panji Asmarabangun atau Gunungsari dan tokoh perempuan Ragil Kuning atau Sekartaji. yang dikemas secara sederhana namun nilai-nilainya yang disampaikan dapat diterima dengan mudah oleh penonton terutama anak-anak. Topik yang dibawakan cenderung mengajak anak untuk berempati kepada lingkungan, memberikan kesadaran bermasyarakat serta menikmati kebersamaan. (Samsul Subakri) Wayang suket Puspasarira memiliki dibuat dari rumput mendong yang telah ditentukan jumlah dan ukurannya. Berjumlah 6 batang rumput mendong dengan panjang 100 jari. Ketentuan tersebut memiliki filosofi yang dijabarkan melalui perhitungan pengurangan. Proses pembuatan wayang suket Puspasarira dapat disaksikan secara langsung dan dijelaskan nilai-nilai di setiap anyamannya. Rumput mendong berjumlah 6 batang mengibaratkan 6 indera manusia. Pangganda (Indra penciuman): mengenali bau atau aroma. Pandulu (Indra pengelihatan): mengenali obyek visual. Pangrungu (Indra pendengaran): mengenali obyek audio. Pangecap (Indra pengecap): mengenali cita rasa. Panggrahita (Indra peraba): mengenali sensasi panas-dingin halus-kasar, serta Pangerasa (Indra perasa): mengenali rasa nyaman-tidak nyaman. Ukuran panjang batang mendong 100 jari menunjukan nilai sempurna yang dirincikan dari pengurangan billangan. Angka 35 dalam budaya Jawa menjelaskan hari pasaran atau weton. Angka 20 menjelaskan jumlah aksara Jawa. Angka 9 menjelaskan jumlah lubang tubuh manusia dari ujung kepala sampai kaki. Angka 8 merujuk pada waktu windu berkaitan dengan hitungan orang Jawa. Angka 7 merujuk jumlah lapisan bumi dan lapisan langit. Angka 6 menunjukan jumlah penjuru yaitu depan, kiri, belakang, kanan, atas, dan bawah yang menggambarkan bahwa manusia sebenarnya tidak akan pernah kehilangan arah. Angka 5 menjelaskan pancasila. Angka 4 sebagai simbol anasir alam yaitu air, api, udara dan tanah. Angka 3 melambangkan bakal yang menggambarkan laki-laki/perempuan. Tri pratama, laki-laki: guna, kaya, wirya; perempuan: gandha, rasa, rupa. Angka 2 menggambarkan jodoh yaitu (mati-hidup, siang-malam, gelap-terang) dan yang terakhir adalah 1 merujuk pada pribadi atau diri sendiri yang identik. Bentuk tubuh wayang suket Puspasarira memiliki unsur kesederhanaan namun kaya akan nilai filosofi. Tubuh wayang suket Puspasarira terdiri dari sepuluh bagian memiliki kerata basa nya sendiri dan merepresentasikan budaya masyarakat Jawa (Rachmawati et al., 2023). Setiap bagian tubuh tersebut memiliki filosofi yang diceritakan dalam proses pembuatan. (1) Pembuatan hidung atau irung (isa wurung) yang artinya bisa gagal. Sebagai penanda kehidupan yang bisa meninggal apabila tidak bernafas. Oleh karena itu, keseimbangan dalam hidup itu penting layaknya nafas keluar-masuk (2) Pembuatan kepala atau sirah (isine wewarah) yang artinya berisi tentang ajaran/ilmu. Kepala sebagai tempat munculnya gagasan, norma dan nilai dalam masyarakat. Gagasan, norma dan nilai seseorang menuntunnya dalam melakukan perbuatan. (3) Pembuatan rambut atau rikma (katarik ing sukma) yang artinya Jiwanya mengalami ketertarikan. Disuatu saat nanti dalam tahapan proses kehidupan, manusia akan mengalami ketertarikan atau pubertas. (4) Pembuatan Gelung, yaitu model rambut yang digulung. Gelung (aja tegel, senenga tetulung) yang artinya Jangan egois sukalah memberi pertolongan. (5) Pembuatan leher atau jangga (aja sok nangga ning aja lali karo tangga) yang artinya janganlah mengurusi urusan tetangga, tapi jangan melupakan tetangga. (6) Pembuatan pundak (pujimu aja pendhak) yang artinya pujian / do’a mu jangan hanya sebentar atau sementara. Pundak ada 2 yaitu kiri/kiwo (iki kang nggowo) ini yang membawa potensi jati diri dan kanan/tengen (antenge angen-angen) yaitu ketenangan berpikir/konsentrasi. (7) Pembuatan bagian badan yaitu dada (padha-padha) yang artinya sama rata. (8) Pembuatan perut atau weteng (ojo ngeliwet barang kang peteng) yang artinya jangan menanak beras jika sumbernya tidak jelas. Memiliki makna jangan menerima sesuatu yang tidak jelas sumbernya dan condong ke hal negatif. (9) Pembuatan pinggul atau bokong. (10) Pembuatan kaki atau suku (aja kesusu yen lumaku) yang artinya jangan terburu-buru ketika berjalan. Dalam melakukan segala sesuatu harus teratur atau sistematis. (11) Pembuatan lutut atau dhengkul (yen durung mudeng aja tumungkul) yang artinya jika belum mengerti jangan mengerti (12) Pembuatan telapak kaki atau delamaan sikil (napak lusi lan kerikil), yang artinya sering membuat celaka, terjerat atau tergelincir. (13) Pembuatan lengan atau lengen (kudu ndeleng yen nduwe angen-angen) yang artinya harus melihat kondisi apabila memiliki keinginan. Maka dari itu kita harus mengetahui kondisi atau kemampuan ketika menginginkan sesuatu. Proses pembuatan wayang laki-laki dan perempuan berbeda pada penjelasan. Laki-laki dapat dijelaskan hingga kaki, tetapi wayang perempuan hanya dapat diceritakan hingga pinggang karena kakinya tidak nampak. Bentuk payudara wayang perempuan pada wayang klasik biasanya menggunakan 4 simpul, ini digunakan untuk menceritakan catur bakti yaitu empat penghormatan (kepada sesama, gusti [raja], bapa-biyung/orang tua dan guru). Pada pinggang wayang perempuan terdapat 5 simpul menggambarkan pancasuda. Panca (lima) suda (berkurang). Pancasuda artinya lima hal yang akan berkurang yaitu usia, kekuatan fisik atau tenaga, kekayaan atau harta benda, kesehatan, dan ingatan.
Referensi
Rachmawati, N., Zurinani, S., Antropologi, P. S., Budaya, F. I., Brawijaya, U., Antropologi, P. S., Budaya, F. I., & Brawijaya, U. (2023). Simbolisasi Budaya Jawa Dalam Bentuk Wayang. 3(1), 84–100. Sari, V. R., & Perguna, L. A. (2020). the Commodification of Wayang Suket Puspasarira in. ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial Dan Budaya, 9(1), 15–23.