Deskripsi
Wayang Kulit Purwa adalah seni pertunjukan yang menampilkan bayangan boneka terbuat dari pahatan kulit dan dimainkan oleh seorang dalang dengan iringan gamelan. Pagelaran Wayang Kulit Purwa menceritakan kisah-kisah wiracarita(Kepahlawanan) dari Mahabharata dan Ramayana, yang mendapatkan adaptasi nilai-nilai dan budaya lokal Jawa. Selain sebagai sarana hiburan, pementasan Wayang kulit purwa menjadi sarana pendidikan moral, filosofi kehidupan, dan dakwah.(Nur Awalin, 2019). Berdasarkan penelusuran sejarah, terdapat Prasasti yang menyebutkan adanya penggunaan nama “mawayang” pada zaman Prabu Dyah Balitung tahun 829 Saka (709 M). Prasasti tersebut memuat peristiwa penting, yakni terkait dengan digelarnya pentas pewayangan. “Prasasti itu berbunyi bahwa kurang lebih itu ada orang menonton kulit yang dipahat Kemudian diceritakan. Dan yang menceritakan itu adalah Si dalang Penonton itu Sampai meneteskan air mata menyaksikan pertunjukan itu.” (Trisulo, Sanggar Seni Gumelaring Sasangka Aji) Wayang kulit purwa sudah dikenal sejak abad ke-9 hingga ke-10 Masehi. Pada masa itu, pertunjukan wayang berfungsi sebagai medium religius yang digunakan untuk pemujaan roh nenek moyang atau hyang, sebuah praktik kepercayaan prasejarah masyarakat Jawa. (Nur Awalin, 2019) Seiring dengan masuknya pengaruh Hindu dan Buddha, cerita-cerita dari Kepahlawanan India seperti Mahabharata dan Ramayana diadopsi ke dalam wayang. Pada abad ke-15, ketika Islam mulai menyebar di Jawa, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit purwa sebagai sarana dakwah. Sunan Kalijaga memperkenalkan elemen-elemen Islam ke dalam cerita wayang, mengganti ritual pemujaan dewa-dewa Hindu dengan ajaran Islam. Modifikasi ini membuat wayang kulit purwa semakin populer di kalangan masyarakat Jawa Muslim dan menjadi alat penting dalam penyebaran agama islam. Wayang kulit purwa berkembang dengan berbagai gaya di berbagai daerah di Jawa, seperti gaya Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Bali. Masing-masing daerah memiliki karakteristik dan teknik pementasan yang berbeda menyesuaikan dengan kebudayaan dari daerahnya. Dari segi bentuk, Wayang Kulit Purwa Yogyakarta memiliki ciri postur yang lebih menunduk, dan intonasi komunikasi yang lebih lembut. Lalu wayang Surakarta yang lebih dinamis dengan ruang gerak yang bebas dalam segi pementasannya dan dapat dimasukan musik maupun pelawak. (Trisulo, Sanggar Seni Gumelaring Sasangka Aji) Wayang Kulit Gaya Malangan sudah jarang digunakan karena sumber literatur yang sulit ditemukan dan pelaku yang jarang, karakter Wayang Kulit Gaya Malangan memiliki ciri dari bahasa yang lebih keras jika dibandingkan dengan Gaya Surakarta dan Jogjakarta. Sedangkan Wayang Kulit Bali dapat dibedakan dari ukuran yang lebih kecil. (Trisulo, Sanggar Seni Gumelaring Sasangka Aji) Pagelaran Wayang Kulit Purwa menjadi sarana pendidikan moral, filosofi kehidupan, dan dakwah dalam pementasannya penonton diberikan pemahaman bagaimana pola interaksi antara masyarakat Jawa dengan alam di sekitarnya. Bahwa sebagai mahkluk, manusia harus menghargai segala sesuatu di alam semesta. Masyarakat Jawa memliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Tuhan memiliki perannya masing-masing. Tindakan semena-mena terhadap makhluk lain di dunia hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan dan berdampak buruk bagi alam semesta. (Sulaksono & Saddhono, 2019)
Referensi
Nur Awalin, F. R. (2019). Sejarah Perkembangan Dan Perubahan Fungsi Wayang Dalam Masyarakat. Kebudayaan, 13(1), 77–89. https://doi.org/10.24832/jk.v13i1.234 Sulaksono, D., & Saddhono, K. (2019). Ecological Messages In The Ramayana Story Of The Wayang Purwa Shadow-Puppet Play . Lekesan: Jurnal Interdisipliner Asia Seni Pasifik, 2(April).