Deskripsi
Jaranan Dor Kidal adalah salah satu varian dari seni pertunjukan jaranan yang berkembang di Malang, Jawa Timur. Penamaan "Dor" dalam versi jaranan di desa Kidal Kecamatan Tumpang, Malang diambil dari alat musik yang digunakan dalam pertunjukan ini yaitu kendang, angklung dan jidor (semacam drum besar). (Wahyuningtyas et al., 2024) Adanya kesenian jaranan terbagi dalam dua versi, Kerajaan dan Agama. Pertama versi Kerajaan menceritakan awal mula kesenian jaranan dari salah satu legenda yang berkembang di masyarakat, tarian ini mengkisahkan tentang Raja Kediri yang akan menjodohkan anaknya bernama Songgolangit. Siapapun yang sakti mondro guno dan bisa menghadirkan kesenian yang tidak bersentuhan secara langsung dengan tanah, akan di jodohkan dengan putri Songgolangit.(Sendy, 2017) Cerita lain yang dinyatakan oleh Pelaku kesenian jaranan dor kidal anusopati yaitu Disuatu Ketika sang Raja menginginkan sebuah hiburan yang sama seperti pasukannya Ketika berkuda dan berperang dengan membawa senjata. Sedangkan versi Agama Eko menjelaskan bahwa yang menyebarkan jaranan di pulau jawa adalah wali dengan tujuan untuk mengumpulkan warga dengan penampilan kesenian lalu menyebarkan ajaran islam(dakwah) (Eko, Anusopati) Penampilan jaranan dilakukan secara berpasangan dalam jumlah genap oleh laki-laki yang menunggang kuda-kudaan pipih yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan dan dihias. Jumlah penarinya terdiri dari enam atau delapan penunggang kuda.(Radhia, 2016) Masing-masing pasangan penari membawa jaran dengan karakteristik warna putih, merah dan hitam. Penampilan dimulai dengan masuknya jaran putih yang disusul oleh merah lalu hitam. Urutan ini memiliki makna atau filosofi kehidupan yaitu, Jaran putih yang ditempatkan pertama berarti awal kelahiran manusia dalam keadaan suci. Dilanjutkan dengan jaran merah yang memiliki arti emosi, nafsu atau amarah semasa hidup. Dan Diakhiri dengan jaran Hitam yang bermakna akhir dari kehidupan. Tarian yang dipentaskan dalam jaranan terbagi kedalam tiga versi tarian yang dilakukan secara bertahap, pertama jaranan ditenteng(dibawa disamping atau didepan badan penunggang), yang kedua ditunggangi(dinaiki), lalu Sodoran (membawa senjata seperti dalam perang). Menurut cerita dari Eko Jaranan dor kidal diawali oleh Pak Warsan sekitar tahun -1980-an dan persebaran jaranan dor kidal terjadi sejak 1995 sewaktu Grup Jaranan Anusopati melakukan pementasan selama 30 hari berturut pada bulan suro. Pementasan jaranan umumnya dilaksanakan pada bulan suro dalam kegiatan ruwatan atau bersih desa. Dimulai pada tanggal 17 Agustus 1995 Grup Jaran Anusopati melakukan pementasan siang dan malam di beberapa wilayah diantaranya Arah Malang Selatan yaitu dampit, Arah utara Krian Sidoarjo, Arah barat Karangploso, arah timur sampai ke pegunungan. (Eko, Anusopati) Sebagaimana jaran dor kidal, jaranan malang memiliki karakteristik “keras” dalam penampilannya terutama saat sodoran dan kalapan(biasa disebut dadi atau ndadi yaitu proses pemain menjadi jaran liar). Untuk mencapai tahap kalapan tersebut, pemain harus melalui tahapan dan ritual. Adapun kegiatan ritual ini meliputi kegiatan doa dan pemberian sesajen sebagai ungkapan syukur di pundhen desa asal kelompok.(Radhia, 2016)
Referensi
Radhia, H. A. (2016). Dinamika Seni Pertunjukan Jaran Kepang Di Kota Malang. Jurnal Kajian Seni, 02(02), 164–177. Sendy, R. (2017). Dinamika Kesenian Jaranan Dor Anusapari Candi Rejo (ACR) di Desa Kidal Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang (p. 25). Wahyuningtyas, D. N., Ponimin, P., & Sidyawati, L. (2024). Kesenian Jaran Dor Malang sebagai Ide Penciptaan Motif Batik Tulis Sandang. JoLLA Journal of Language Literature and Arts, 4(6), 549–566. https://doi.org/10.17977/um064v4i62024p549-566