Deskripsi
Ludruk merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Indonesia yang disajikan dalam bentuk drama atau lakon (Fitri, 2019) Kesenian ini berkembang di wilayah budaya Arek, yakni Surabaya, Jombang, Malang, Gresik, Sidoarjo dan Kediri, serta sebagian Blitar. (Autar Abdillah, 2009) Pada tahun 1930-an, Gondo Durasim (Cak Durasim) bersama teman-temannya mendirikan organisasi yang menjadi tempat berkumpulnya para pelaku ludruk di Surabaya. Pada masa penjajahan pertunjukan ludruk menjadi sarana untuk menyebarkan kritik terhadap kekejaman kolonial belanda. Dengan humor, kidungan dan cerita utama yang dipentaskan ludruk berusaha merepresentasikan kesengsaraan rakyat melalui sebuah hiburan sebagai Upaya untuk membangkitkan semangat perjuangan. Karena memuat kritik dan tawaran untuk melawan penjajahan rezim Belanda. Sebelum tahun 1940 pemerintahan Belanda melarang pertunjukan ludruk dan membubarkan organisasi ludruk yang bertujuan untuk menghalangi penyebaran semangat revolusioner. (Setiawan & Sutarto, 2014) Datangnya Jepang pada tahun 1942 memberi peluang baru bagi seniman ludruk yang melegalkan organisasi dan pertunjukan ludruk. Namun, dibalik dukungan itu Jepang menggunakan Kesenian ludruk sebagai media propaganda untuk menyebarluaskan gagasan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Pertunjukan Ludruk yang dipentaskan oleh Cak Durasim menyampaikan kritik secara terang-terangan kepada penjajah jepang melalui parikan atau puisi jawa yang berbunyi “pagupon omae doro, melu Nippon tambah sengsara (pagupon artinya rumah merpati, mengikuti Nippon artinya lebih banyak kesedihan). Parikan tersebut menjadi alasan jepang memenjarakannya hingga meninggal dunia. (Setiawan & Sutarto, 2014) Kesenian Ludruk yang tersebar di berbagai wilayah jawa timur memiliki kekhasannya tersendiri salah satunya Ludruk Malangan yang memliki perbedaan dengan jombang dalam tari remo yang dibawakan dalam tari pembuka. Tari Remo jombang membawakan khas Tari Remo boletan. Selanjutnya untuk penampil di ludruk malangan pawestri(Perempuan) diperankan oleh laki-laki yang berdandan seperti Perempuan sedangkan “ludruk lor-an" (ludruk Surabaya) sebagian masih diperankan oleh perempuan (Ludruk ARMADA, 2024). Seni pertunjukan selain menjadi tontonan juga tuntunan dengan penyampaian nilai-nilai moral melalui pementasannya. Ragam nilai moral yang terdapat pada ludruk bergantung pada cerita yang dibawakannya, contohnya “kisah sawunggaling” yang menceritakan perjuangan sawunggaling dalam melawan penjajah. Beberapa cerita lainnya adalah kisah-kisah revolusi Indonesia, dengan sentimen nasionalis dan anti-Belanda. Beberapa cerita mengisahkan pahlawan-pahlawan Madura seperti “Pak Sakera” atau “Sarip Tambak Oso,” memiliki kualitas yang lebih tragis dan penuh kekerasan dibandingkan dengan cerita-cerita yang menampilkan para pahlawan Jawa. (Peacock, 1967)
Referensi
Autar Abdillah. (2009). Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk Di Wilayah Budaya Arek. Mudra Jurnal Seni Budaya, 24(1), 18–28. https://doi.org/10.31091/mudra.v24i1.1551 Fitri, N. P., & Abdillah, A. (2021). Bentuk dan Eksistensi Ludruk Armada Malang Pada Masa Pandemi Covid-19. APRON Jurnal Pemikiran Seni Pertunjukan, 12. Peacock, J. L. (1967). Comedy and Centralization in Java: The Ludruk Plays. The Journal of American Folklore, 80(318), 345. https://doi.org/10.2307/537413 Setiawan, I. (2014). Transformation of Ludruk Performances: From Political Involvement and State Hegemony To Creative Survival Strategy. Humaniora, 26(2), 187-202.